1.Semua pikiran, ucapan, atau perbuatan yang dilandasi keserakahan, kebencian,
dan itikad buruk yang menjauhkan dari pencapaian kesucian - Nibbana, adalah hal
yang salah. Sedangkan pikiran, ucapan, atau perbuatan yagn dilandasi cinta
kasih, welas asih, dan kebijaksanaan, yang mendukung penyucian jalan ke Nibbana
adalah hal yang baik.
Dalam agama theosentris, benar salahnya suatu perbuatan biasanya dinilai dari kesesuaiannya dengan perintah Tuhan (yang termaktub dalam kitab suci). Namun dalam agama humanosentris seperti agama Buddha, untuk mengetahui yang baik dan yang buruk, Anda harus mengembangkan pengertian dan kesadaran diri secara mendalam. Tata susila yang didasarkan pada pengertian dan kebijaksanaaan senantiasa lebih unggul dibanding berdasarkan ketaatan pada perintah semata. Untuk membedakan hal yang baik dan yang buruk, umat Buddha berpedoman pada tiga hal: tujuan, akibat yang menimpa diri sendiri, dan akibat yang akan menimpa orang lain. Apabila suatu tindakan bertujuan baik (dilandasi cinta kasih, welas asih dan kebijaksanaan); apabila berguna bagi diri sendiri dan orang lain untuk mengembangkan cinta kasih, welas asih, dan kebijaksanaan, maka tindakan tersebut adalah bermanfaat, baik, dan patut diteladani. Tentu saja ada berbagai pertimbangan. Kadang kita bermaksud melakukan suatu tujuan mulia, tetapi bisa jadi tindakan tersebut tidak bermanfaat batin diri sendiri maupun bagi orang lain. Kadang tujuan kita jauh dari kebaikan, namun tindakan kita justru menguntungkan orang lain. Di kesempatan lain, tindakan kita sama sekali tak bertujuan baik, hanya menguntungkan diri sendiri, namun menyebabkan penderitaan pihak lain. Dalam hal ini, tindakan kita merupakan campuran antara hal yang baik dan yang buruk. Apabila kita bertujuan buruk, tak berguna bagi diri sendiri, tak bermanfat bagi orang lain, hal seperti ini adalah buruk. Sedangkan bila tujuan kita baik, dan tindakan kita bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, hal ini sungguh baik.
2. Jadi agama Buddha memiliki aturan moralitas?
Benar. Umat Buddha memiliki lima dasar moralitas umat Buddha yang disebut sebagai Panca Sila (dari bahasa Pali : lima dasar moralitas),
Sila pertama adalah menghindari pembunuhan atau menyakiti segala bentuk kehidupan;
Sila kedua adalah menghindari pencurian atau mengambil yang tidak diberikan;
Sila ketiga adalah menghindari tindakan asusila (penyelewengan seksual);
Sila keempat menghindari diri dari berbohong dan berkata yang tidak benar (berkata kasar, fitnah, dll);
Sila kelima, menghindari diri dari penggunaan
bahan-bahan yang dapat menyebabkan melemahnya atau berkurangnya
kesadaran/ketagihan.Dalam agama theosentris, benar salahnya suatu perbuatan biasanya dinilai dari kesesuaiannya dengan perintah Tuhan (yang termaktub dalam kitab suci). Namun dalam agama humanosentris seperti agama Buddha, untuk mengetahui yang baik dan yang buruk, Anda harus mengembangkan pengertian dan kesadaran diri secara mendalam. Tata susila yang didasarkan pada pengertian dan kebijaksanaaan senantiasa lebih unggul dibanding berdasarkan ketaatan pada perintah semata. Untuk membedakan hal yang baik dan yang buruk, umat Buddha berpedoman pada tiga hal: tujuan, akibat yang menimpa diri sendiri, dan akibat yang akan menimpa orang lain. Apabila suatu tindakan bertujuan baik (dilandasi cinta kasih, welas asih dan kebijaksanaan); apabila berguna bagi diri sendiri dan orang lain untuk mengembangkan cinta kasih, welas asih, dan kebijaksanaan, maka tindakan tersebut adalah bermanfaat, baik, dan patut diteladani. Tentu saja ada berbagai pertimbangan. Kadang kita bermaksud melakukan suatu tujuan mulia, tetapi bisa jadi tindakan tersebut tidak bermanfaat batin diri sendiri maupun bagi orang lain. Kadang tujuan kita jauh dari kebaikan, namun tindakan kita justru menguntungkan orang lain. Di kesempatan lain, tindakan kita sama sekali tak bertujuan baik, hanya menguntungkan diri sendiri, namun menyebabkan penderitaan pihak lain. Dalam hal ini, tindakan kita merupakan campuran antara hal yang baik dan yang buruk. Apabila kita bertujuan buruk, tak berguna bagi diri sendiri, tak bermanfat bagi orang lain, hal seperti ini adalah buruk. Sedangkan bila tujuan kita baik, dan tindakan kita bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, hal ini sungguh baik.
2. Jadi agama Buddha memiliki aturan moralitas?
Benar. Umat Buddha memiliki lima dasar moralitas umat Buddha yang disebut sebagai Panca Sila (dari bahasa Pali : lima dasar moralitas),
Sila pertama adalah menghindari pembunuhan atau menyakiti segala bentuk kehidupan;
Sila kedua adalah menghindari pencurian atau mengambil yang tidak diberikan;
Sila ketiga adalah menghindari tindakan asusila (penyelewengan seksual);
Sila keempat menghindari diri dari berbohong dan berkata yang tidak benar (berkata kasar, fitnah, dll);
3. Tentu saja suatu ketika kita perlu membunuh. Misalnya memberantas serangga pembawa wabah penyakit, atau membunuh demi mempertahankan diri.
Mungkin hal itu baik bagi Anda. Tetapi bagaimana dengan makhluk yang Anda bunuh? Seperti halnya Anda, mereka juga berharap untuk tetap hidup. Tindakan membunuh mungkin bermanfaat bagi diri sendiri (baik), namun tak elak lagi merugikan makhluk lain (buruk). Jadi suatu ketika mungkin perlu membunuh, namun sekali lagi hal ini tidaklah benar-benar baik. Umat Buddha berusaha menghargai semua bentuk kehidupan, dan melatih diri sebisa mungkin tidak menyakiti makhluk apapun.
4. Anda juga memperhatikan semut dan kutu?
Umat Buddha berusaha mengembangkan sikap welas asih yang tidak membeda-bedakan, melingkupi seluruh bentuk kehidupan. Kami melihat dunia sebagai suatu kesatuan dimana setiap makhluk dan segala sesuatu menempati fungsinya masing-masing. Kami sangat berhati-hati untuk tidak merusak atau mengganggu keseimbangan alam. Lihatlah budaya mengeksploitasi alam yang disertai perusakan, manusia mengambil semuanya, tak bersisa, manusia berusaha menguasai dan menundukkan alam. Keseimbangan alam terganggu. Udara segar, tanah, sungai, dan laut tercemari; hewan dan tumbuhan mendekati kepunahan; bahkan iklim pun berubah. Seandainya saja manusia tidak terlalu serakah, situasi yang mencemaskan ini mungkin tidak akan terjadi. Kita semua seharusnya berusaha lebih menghargai kehidupan. Inilah yang dikatakan oleh Sila Pertama.
5. Mengenai berdusta, mungkinkah hidup tanpa berdusta?
Jika benar-benar tidak mungkin hidup dalam masyarakat atau berbisnis tanpa berdusta, hendaknya kita tidak merugikan orang lain. Umat Buddha berupaya melatih diri untuk hidup lebih jujur dan berterus terang. Sekali lagi, Pancasila Buddhis bukan merupakan suatu dogma semata, melainkan lebih sebagai tuntunan sikap terhadap diri sendiri, sesama, dan alam semesta.
6. Baiklah, bagaimana dengan alkohol? Saya kira minum sedikit saja tidak akan memabukkan.
orang minum alkohol dengan bukan untuk suatu rasa. Ada yang minum untuk mencari pelarian dari tekanan hidup, ada juga yang minum untuk pergaulan. Sedikit saja alkohol bisa memperngaruhi atau mengganggu kesadaran diri, apalagi dalam jumlah besar, alkohol sangat merusak tubuh dan pikiran.
7. Apakah minum alkohol sedikit saja dikatakan melanggar sila? Bukanlah itu hal yang sepele?
Memang sepele. Tetapi bila untuk hal-hal yang sepele saja Anda tidak bisa, berarti tanggung jawab dan tekad Anda tidak cukup kuat; bagaimana mungkin Anda bisa melatih diri untuk hal-hal yang lebih besar?
8. Pancasila Buddhis bersifat negatif. Pancasila memuat hal-hal yang hendaknya tidak dilakukan, tetapi tidak mengatakan hal-hal yang hendaknya dilakukan.
Pancasila merupakan dasar moralitas umat Buddha, jadi belum mencakup semuanya. Kita mulai belajar mengenali kebiasaan buruk alamiah kita dan berusaha untuk menghentikannya. Itulah fungsi Pancasila sebagai dasar. Setelah kita berhenti berbuat buruk, kemudian kita mulai berbuat baik. Sebagai contoh, berbicara. Sang Buddha menganjurkan agar mulai dengan manahan diri untuk tidak berbicara tidak benar.
Selanjutnya, kita berbicara dengan benar, halus, sopan, dan pada saat yang tepat. Beliau bersabda:
"Meninggalkan pembicaraan yang tidak benar, dia menjadi pembicara
kebenaran, dapat diandalkan, dapat dipercaya, dia tidak memperdayai dunia.
Meniggalkan pembicaraan yang jahat, dia tidak mengulang di sana apa yang dia
dengar di sini, tidak mengulang di sini apa yang dia dengar di sana, dalam
upaya memecah belah mesyarakat. Dia mendamaikan yang bermusuhan dan
mengakrabkan kembali yang berseteru. Keharmonisan adalah kegembiraannya,
keharmonisan adalah kebahagiaannya, keharmonisan adalah kasih sayangnya, inilah
yang mendorong dia berbicara. Meninggalkan pembicaraan yang kasar, dia
berbicara tanpa cela, nyaman didengar, ramah tamah, menggembirakan hati, halus
tutur katanya, disukai banyak orang. Meninggalkan obrolan kosong, dia berbicara
pada saat yang tepat, apa yang sebenarnya, tidak bertele-tele, mengenal Dhamma
dan kedisiplinan. Dia membicarakan hal yang bermanfaat dan berharga, sesuai
dengan keadaannya, pantas untuk diungkapkan, dirumuskan dengan baik, dan tepat
pada sasarannya."