SAKIT, PEMAKAMAN, PENGUBURAN DAN PERABUAN, UPACARA PERINGATAN

SAKIT
Seseorang yang sakit, selain menempuh pengobatan medis biasa, sebaiknya juga rnengundang para bhikkhu untuk melakukan suatu pemberkahan keagarnaan yang bertujuan mempercepat kesembuhan si pasien. Pemberkahan seperti itu dapat menanamkan pengaruh spiritual dan kejiwaan pada si pasien sehingga mempercepat penyembuhannya. Khususnya bila penyakit itu kebetulan berhubungan dengan sikap batin si sakit, suatu pelayanan spiritual oleh seorang bhikkhu akan sangat menolong. Dalam hal terdapat kepercayaan bahwa suatu penyakit disebabkan oleh pengaruh buruk dari luar atau "roh-roh" jahat, maka suatu kebaktian Pemberkahan dapat menjadi obat penawar yang baik. Tetapi, sebagai umat Buddha yang mengerti, kita jangan menyerahkan diri pada kepercayaan atau khayalan keliru bahwa "roh-roh" jahat merupakan sebab penyakit kita. Nasehat Sang Buddha:"Bilamana badanmu sakit, jangan biarkan pikiranmu menjadi sakit juga", sungguhlah benar. Sesuai dengan nasehat ini, kita harus mempergunakan kecerdasan dan pikiran sehat kita untuk mencari pengobatan medis yang cocok untuk penyakit kita daripada menyerah pada tahyulan Meskipun demikian, kita harus senantiasa ingat bahwa sakit merupakan bagian dan bidang dari kehidupan kita sehari-hari didunia ini, dan kita harus menerimanya dengan tenang.
PEMAKAMAN Manusia harus mati dan kematian akan tiba pada saatnya. Namun, kematian adalah suatu peristiwa sedih dan memilukan bagi manusia. Upacara penguburan hendaknya juga upacara yang khidmat, sesuai dengan peristiwanya Bertentangan dengan kepercayaan populer dalam masyarakat, upacara pemakaman Tionghoa yang sangat ramai, rumit dan kadang-kadang menyolok yang menelan biaya jutaan rupiah dan sering dikatakan sebagai kebiasaan normal bagi umat Buddha sebenarnya sama sekali bukanlah pelaksanaan Buddhis. Kebiasaan-kebiasaan itu hanya merupakan pengabdian adat istiadat dan tradisi kuno yang berasal dari generasi lampau. Orang-orang yang beragama lain sering heran bila melihat upacara seperti itu, apakah acara itu untuk memperingati sesuatu hari raya yang gembira atau upacara pemakaman yang khidmat. Meskipun agama Buddha tidak berkeberatan terhadap penerusan pelaksanaan itu, sepanjang praktek-praktek itu tidak bertentangan dengan ajaran Sang Buddha, namun terasa bahwa sudah waktunya pelaksanaan-pelaksanaan yang memboroskan, tidak ekonomis, dan tidak penting yang tidak bermanfaat bagi almarhum harus dihapuskan. Pelaksanaan upacara-upacara tradisionil yang demikian rumit atau upacara kematian yang kadang-kadang berlangsung sampai berhari-hari atau berminggu-minggu harus pula dikurangi atau dibuang Pelaksanaan tradisionil lainnya adalah pembakaran kertas tepekong dan rumah-rumahan kertas simbolis, yang dimaksudkan untuk kepentingan orang yang meninggal dunia. Hal ini jelas tidak bersifat Buddhis dan harus dilenyapkan. Upacara pemakaman secara Buddhis hendaknya sederhana, khidmat, terhormat dan penuh arti. Bhikku-bhikku boleh diundang ke rumah orang yang meninggal dunia untuk membacakan sutta-sutta sebelum pemakaman. Pelayanan seperti ini diberikan dengan sukarela oleh para bhikkhu tanpa sesuatu pembayaran. Persembahan bunga-bunga dan pembakaran hio dan lilin adalah kebiasaan normal dan dapat diterima. Pada hari pemakaman, pelayanan para bhikkhu dapat dimintakan lagi untuk melaksanakan kebaktian di rumah dan di pekuburan. Telah menjadi kebiasaan bagi orang-orang Tionghoa untuk menyajikan segala jenis masakan termasuk babi dan ayam sebagai persembahan simbiolis untuk orang yang meninggal dunia. Ini juga merupakan suatu kebiasaan tradisionil yang tidak dianjurkan oleh Buddha Dhamma. Persembahan bunga yang sederhana beserta pembakaran dupa dan lilin sudah cukup sebagai persembahan simbolis. Penyembelihan binatang-binatang tak bersalah untuk dipergunakan sebagai persembahan korban bagi orang-orang yang telah meninggal dunia jelas bertentangan dengan ajaran-ajaran Sang Buddha yang welas asih dan hendaknya dihapuskan sama sekali. 

PENGUBURAN DAN PERABUAN
Banyak umat Buddha mempersoalkan apakah seorang yang meninggal dunia harus dikubur atau diperabukan. Buddha Dhamma bersikap lunak dalam persoalan ini. Tidak ada aturan yang keras dan ketat, meskipun di beberapa negara Buddhis perabuan merupakan kebiasaan yang lazim. Pilihan atas sesuatu cara pada dasarnya tergantung pada "permintaan terakhir" dari orang yang meninggal dunia atau atas kebijaksanaan keluarga terdekat. Namun, dalam pandangan modern, perabuan dianjurkan sebagai suatu bentuk pengaturan mayat yang sesuai dengan syarat-syarat kesehatan. Dengan meningkatnya standar kesehatan dan terjadinya ledakan penduduk, tanah yang dapat dipakai menjadi tidak cukup, sehingga sebaiknya dilakukan perabuan dan tanah yang berharga dapat dipergunakan untuk yang masih hidup daripada dipenuhi dengan batu nisan yang tak terkira banyaknya. Baik dalam penguburan atau perabuan, telah diperhatikan bahwa orang-orang tertentu memasukkan benda-benda berharga milik orang yang meninggal dunia ke dalam peti mati atau tempat perabuan dengan harapan dan keyakinan bahwa orang yang meninggal dunia mendapat keuntungan daripadanya. Terlepas dari rasa sentimen terhadap perbuatan itu, adalah suatu pandangan keliru untuk mengharapkan bahwa penguburan dan pembakaran benda-benda tersebut akan mendatangkan jasa. Daripada dimasukkan kedalam peti mati atau tempat perabuan, lebih baik barang-barang berguna seperti pakaian, sepatu dan lain-lainnya disumbangkan kepada kaum fakir miskin atau kepada lembaga-lembaga amal. Setiap pertolongan kepada kaum fakir miskin merupakan suatu perbuatan berjasa. 

PENGATURAN ABU JENAZAH
Pertanyaan sering diajukan tentang apakah yang harus dilakukan terhadap abu jenazah yang telah diperabukan. Tidak ada aturan yang keras dan ketat tentang pengaturannya. Abu itu dapat disimpan dalam sebuah guci dan diletakkan dalam suatu pagoda yang khusus didirikan dalam sebuah Vihara untuk maksud itu atau dapat disimpan dimana saja menurut kehendak keluarga terdekat. Pada umumnya, setelah kebaktian singkat abu jenazah ditaburkan ke dalam laut atau sungai.

MENGHORMATI ORANG YANG MENINGGAL DUNIA 
Telah dikatakan bahwa persembahan bunga-bunga adalah suatu bentuk penghormatan yang lazim untuk mengenang orang yang meninggal dunia. Namun, dalam hubungan ini juga, dilakukan hal-hal yang berlebih-lebihan karena pada upacara-upacara kita melihat karangan-karangan bunga bernilai ratusan ribu rupiah bertumpuk-tumpuk diatas makam, yang hanya dibersihkan sebagai sampah dalam satu atau dua hari berikutnya. Untuk menghindari pemborosan seperti ini, suatu kebiasaan yang lebih dapat diterima dan lebih layak telah disetujui oleh orang-orang masa kini yang lebih mengerti. Kebiasaan itu ialah bahwa sebagai pengganti karangan bunga, manisan atau kertas tepekong, keluarga terdekat dari orang yang meninggal dunia memberitahukan dalam surat kabar bahwa kawan-kawan atau sanak saudara yang ingin menghormati orang yang meninggal dunia itu dapat berdana kepada lernbaga-lembaga keagamaan atau panti derma atas nama orang yang meninggal dunia itu. Dalam beberapa hal, suatu yayasan khusus tempat orang yang meninggal dunia itu pernah berkecimpung aktif selama hidupnya ditunjuk sebagai penerima dana. Perubahan sikap ini sangat masuk akal dan menggembirakan. Sangat dianjurkan agar kebiasaan seperti ini dapat diikuti oleh semua umat Buddha yang mengerti. Penghormatan kepada orang yang meninggal dunia biasanya pertama-tama diberikan oleh keluarga terdekat orang yang meninggal dunia itu. Penghormatan ini dengan mudah dapat diberikan oleh anak-anaknya atau keluarga terdekatnya dalam membantu mempersiapkan mayat ke dalam peti jenazah. Sayang sering terjadi bahwa karena ketahyulan yang keliru, ketakutan atau prasangka yang tidak semestinya, maka kewajiban atau penghormatan terakhir ini jarang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Sebagai gantinya beberapa orang petugas dipekerjakan untuk membersihkan dan membajui mayat itu. Seharusnya tidaklah demikian. Prasangka dan ketahyulan harus dihilangkan. Penghormatan harus diberikan kepada orang yang meninggal dunia. 

UPACARA PERINGATAN 
Penyelenggaraan upacara keagamaan untuk peringatan di Vihara atau di rumah merupakan suatu bentuk lain untuk menghormati orang yang meninggal dunia. Ini dapat diikuti dengan perbuatan jasa yang lain dengan memberikan dana kepada bhikkhu-bhikkhu dan orang-orang miskin. Penyelenggaraan upacara peringatan biasanya dilakukan pada hari ketujuh setelah seseorang meninggal dunia dan juga pada bulan ketiga atau hari keseratusnya. Selanjutnya upacara itu dapat dilakukan pada hari peringatan tanggal kematiannya. Bagi mereka yang mampu, suatu bentuk perbuatan jasa yang lebih patut dipuji adalah berdana kepada yayasan keagamaan atau panti derma guna menghormati orang yang telah meninggal dunia atau menerbitkan buku-buku keagamaan untuk dibagikan pada masyarakat untuk memberi penerangan mengenai ajaran Sang Buddha nan agung.